Selasa, 09 Oktober 2012

INSEMINASI BUATAN MENURUT PANDANGAN ETIKA KRISTEN


INSEMINASI BUATAN MENURUT PANDANGAN ETIKA KRISTEN


Setiap pasangan suami isteri pasti mengharapkan hadirnya seorang atau beberapa orang anak sebagai buah hati perkawinan mereka. Namun tidak jarang sebuah perkawinan tak kunjung mendapatkan sesosok anak yang diidam-idamkan selama perkawinan. Banyak faktor tentunya yang menyebabkan suatu pasangan suami isteri tidak kunjung mendapatkan turunan, misalnya gagal rahim, mandul, dan lain-lain. Banyak pula pasangan perkawinan menempuh berbagai cara untuk mendapatkan anak. Misalnya; adopsi, inseminasi buatan, dan bayi tabung. Inseminasi buatan adalah konsepsi (pembuahan) terhadap sel telur oleh sperma hasil para donor yang disimpan di laboratorium. Robert T Francoeur dalam bukunya berjudul:"Biomedical Ethics" mengungkapkan bahwa setiap tahun 30.000 s/d 40.000 bayi lahir di Amerika hasil inseminasi buatan. Di mana sel sperma yang ditabung itu tidak lagi jelas siapa pemiliknya (anonim).
Sebelum lebih lanjut mengenai pandangan etika Kristen terhadap inseminasi buatan ini, alangkah lebih baiknya jika kita mengerti dahulu apakah itu inseminasi buatan.  Inseminasi buatan merupakan terjemahan dari artificial insemination. Artificial artinya buatan atau tiruan, sedangkan insemination berasal dari kata latin. Inseminatus artinya pemasukan atau penyampaian. Artificial insemination adalah penghamilan atau pembuahan buatan. Secara medisnya Inseminasi buatan diartikan sebagai peletakan sperma ke follicle ovarian (intrafollicular), uterus (intrauterine), cervix (intracervical), atau tube fallopian (intratubal) wanita dengan menggunakan cara buatan dan bukan dengan kopulasi alami. Sederhananya inseminasi buatan adalah memasukkan mani/ sperma laki-laki ke dalam alat kelamin wanita dengan jalan buatan. Dengan kata lain tidak melalui persetubuhan. Normalnya penghamilan wanita dalam kehidupan pernikahan dilakukan dengan adanya persetubuhan. Teknik modern untuk inseminasi buatan pertama kali dikembangkan untuk industri ternak untuk membuat banyak sapi dihamili oleh seekor sapi jantan untuk meningkatkan produksi susu. Sedangkan inseminasi buatan pada manusia pertama kali dilakukan tahun 1700 di Inggris. Inseminasi ini dilakukan dengan menggunakan sperma dari suami telah dilakukan secara intravagina (dalam vagina). Sophia Kleegman dari Amerika Serikat adalah salah satu perintis yang menggunakan inseminasi buatan dengan sperma suami ataupun sperma donor untuk kasus infertilitas. 
Ada beberapa hal yang menjadi alasan mengapa orang melakukan inseminasi buatan. Yang pertama adalah karena seorang suami tidak dapat melakukan persetubuhan yang baik, misalnya ia memiliki impotensi atau lemah syahwat. Dapat juga terjadi jika seorang suami atau istri memiliki kelainan pada alat kelaminnya, sehingga sperma yang sehat tidak dapat masuk ke tempat yang semestinya. Pada wanita kendala ini dapat berupa hipofungsi ovarium, gangguan pada saluran reproduksi dan rendahnya kadar progesterone. Sedangkan pada pria berupa abnormalitas spermatozoa kriptorkhid (Sperma yang lemah dalam pergerakan), azoospermia (Mandul karena mani tidak mengandung sel mani hidup) dan rendahnya kadar testosterone (Hormon kelamin pria dihasilkan oleh testis). Selain untuk memperoleh keturunan, inseminasi buatan juga dilakukan karena faktor kesehatan. Ada juga alasan untuk mengembangbiakan manusia secara cepat, untuk menciptakan manusia jenius, ideal sesuai dengan keinginan, sebagai alternatif bagi manusia yang ingin punya anak tetapi tidak mau menikah dan untuk percobaan ilmiah.
Ada dua jenis inseminasi buatan, yakni inseminasi buatan homolog dan inseminasi buatan heterolog. Inseminasi buatan homolog adalah inseminasi buatan dengan megunakan mani suami sendiri. Inseminasi buatan heterolog adalah inseminasi buatan dengan menggunakan mani donor. Ini dilakukan jika suami tidak bisa memproduksi sperma atau azoospermia atau pihak suami mengidap penyakit congenital (Penyakit bawaan sejak lahir) yang dapat diwariskan kepada keturunannya. Penderma sperma harus melakukan tes kesehatan  terlebih dahulu seperti tipe darah, golongan darah, latar belakang status physikologi, tes IQ, penyakit keturunan, dan bebas dari infeksi penyakit menular.
Keberhasilan inseminasi buatan tergantung tenaga ahli di labolatorium, walaupun prosedurnya sudah benar, bayi dari hasil inseminasi buatan dapat memiliki resiko cacat bawaan lebih besar daripada  dibandingkan pada bayi normal. Penyebab dari munculnya cacat bawaan adalah kesalahan prosedur injeksi sperma ke dalam sel telur. Hal ini bisa terjadi karena satu sel sperma yang dipilih untuk digunakan pada inseminasi buatan belum tentu sehat, dengan cara ini resiko mendapatkan sel sperma yang secara genetik tidak sehat menjadi cukup besar. Cacat bawaan yang paling sering muncul antara lain bibir sumbing, down sindrom, terbukanya kanal tulang belakang, kegagalan jantung, ginjal, dan kelenjar pankreas.
Persoalan yang muncul dari hasil-hasil inseminasi ini antara lain: bagaimana hak anak untuk mengetahui ayahnya yang sesungguhnya, hak untuk mengetahui latarbelakang ayahnya, dan bagaimana hak sang donor untuk dirahasiakan identitasnya, termasuk terhadap anak yang dihasilkan dari pembuahan oleh sel sperma sang donor. Persoalan lebih rumit lagi terjadi ketika sepasang remaja mengumumkan rencana perkawinan mereka. Namun dokter yang menginseminasi mereka mengetahui rencana perkawinan mereka, dan akhirnya mengumumkan bahwa 20 tahun lalu mereka berdua adalah hasil inseminasi dari donor yang sama. Sungguh kacau dan menyedihkan bukan? (Francoeur, 1977, hal. 207). Menyikapi aktivitas inseminasi dan problema-problema yang muncul sebagaimana diuraikan di atas, nampak bahwa upaya manusia memang seringkali melangkahi kodratnya sehingga menimbulkan kekacauan. Anak adalah buah hati kasih sayang dan cinta antara dua pasangan yang diikat oleh sebuah perkawinan yang sah menurut hukum Tuhan maupun hukum manusia. Dikaji dari sudut iman Kristiani, apa bedanya inseminasi buatan dengan punya lelaki simpanan? Apa bedanya inseminasi buatan dengan zinah? Sebab, sungguh ironis kalau sampai ada pasangan suami-isteri yang kawin secara sah menurut ajaran Tuhan, tapi anaknya berasal dari lelaki lain (sel sperma yang ditabung di laboratorium). Dan sungguh suatu kebohongan besar apabila pasangan suami istri itu menyembunyikannya hingga si anak besar dan bahkan selamanya tidak diberitahu bahwa ia adalah hasil inseminasi. Sungguh tak terbayangkan apa yang terjadi pada diri si anak kalau suatu waktu ia tahu bahwa ayah aslinya adalah orang lain. Bisa sangat menyedihkan. Dilematis bukan?. Memang kehidupan tanpa otoritas pasti mengarah pada kekacauan. Oleh karena itu, biarlah kita taat pada otoritas tertinggi, yaitu Firman Tuhan, khususnya mengenai perkawinan, bukan sekedar memenuhi keinginan kita sebagai manusia. Karena Allah tentu punya rencana yang indah atas setiap perkawinan yang berkenan di hadapanNya.

A. Bagaimana Inseminasi buatan dapat dibenarkan?
Inseminasi buatan dapat dibenarkan atau diijinkan bila dilakukan dengan alasan kesehatan dan pengobatan atau untuk meningkatkan nilai genetik, sehingga menghasilkan manusia yang lebih berkualitas. Dan yang lebih penting dilakukan oleh pasangan yang sah. Hal ini di kemukakan oleh sebagian pakar agama baik dari Islam, Kristen maupun Yahudi, karena dapat membantu pasangan suami istri yang tidak bisa memperoleh keturunan, jika kedua belah pihak setuju untuk melakukan inseminasi. Tetapi ada juga yang mempersoalkan tentang inseminasi buatan ini, bahwasanya anak yang diperoleh dengan cara inseminasi sebenarnya bukanlah anak dari dari suami istri itu sendiri, melainkan dari orang lain yang identitasnya biasanya disembunyikan. Karena itu juga muncul problem hukum tentang ayah yang benar dari anak tersebut dan problem physikologis dalam diri anak di kemudian hari bila ingin tahu tentang ayahnya yang sebenarnya. Selain itu persoalan tentang bagaimana cara mendapatkan sperma, apakah boleh digunakan masturbasi? Besarnya biaya yang dikeluarkan untuk inseminasi buatan, ternyata juga menimbulkan masalah karena terlalu mahal, sekitar 11 juta. Apakah tidak lebih baik bila biaya tersebut digunakan untuk didermakan kepada panti asuhan sebelum mereka mengangkat seorang anak dari panti asuhan tersebut?

B. Benar-Salahkah Inseminasi Buatan?
Segi Agama
            Yang pertama kali menyatakan tentang inseminasi buatan adalah gereja Katholik Roma. Paus Pius XII pada tahun 1949 mengeluarkan pernyataan bahwa segala penghamilan manusia tidak boleh menggunakan cara di luar cara yang wajar/ persetubuhan. Inseminasi buatan homolog maupun heterolog dilarang berdasarkan kesusilaan. Gereja-gereja Protestan umumnya menolak inseminasi buatan heterolog. Sedang inseminasi buatan homolog bukan dipandang sebagai perbuatan tidak bersusila. Dasar dari pandangan ini adalah kata ibrani yang digunakan untuk menyatakan tentang persetubuhan dalam alkitab adalah berarti “mengenal”. Maksudnya adalah saling mengenal di dalam kasih dan saling menyerahkan jiwa raganya di dalam kasih. Jadi anak lahir oleh persekutuan yang amat dalam tersebut. Inseminasi buatan heterolog dilakukan dengan tidak adanya ikatan persekutuan yang demikian, maka hal ini dianggap tidak sesuai dengan alkitab. Namun, inseminasi buatan homolog berbeda. Maka gereja protestan menganggap hal ini boleh dilakukan. Namun ada catatan penting tentang hal ini. Inseminasi buatan homolog boleh dilakukan jika memang terpaksa harus dilakukan. Jika memang seorang pria atau seorang wanita tidak dapat menghasilkan keturunan dengan persetubuhan, maka barulah hal ini dilakukan.

Segi Sosial
Posisi anak menjadi kurang jelas dalam tatanan masyarakat, terutama bila sperma yang digunakan berasal dari bank sperma atau sel sperma yang digunakan berasal dari pendonor, akibatnya status anak menjadi tidak jelas. Selain itu juga, di kemudian hari mungkin saja terjadi perkawinan antar keluarga dekat tanpa di sengaja, misalnya antar anak dengan bapak atau dengan ibu atau  bisa saja antar saudara sehingga besar kemungkinan akan lahir generasi cacat akibat inbreeding. Lain halnya dengan kasus seorang janda yang ditinggal mati suaminya, dan dia ingin mempunyai anak dari sperma beku suaminya. Hal ini dianggap etis karena sperma yang digunakan  berasal dari suaminya sendiri sehingga tidak menimbulkan masalah sosial, karena status anak yang dilahirkan  merupakan anak kandung sendiri. Kasus lainnya adalah seorang wanita ingin mempunyai anak dengan inseminasi tetapi tanpa menikah, dengan alasan ingin mempunyai keturunan dari seseorang yang diidolakannya seperti artis dan tokoh terkenal. Kasus tersebut akan menimbulkan sikap tidak etis, karena sperma yang diperoleh sama halnya dari sperma pendonor, sehingga akan menyebabkan persoalan dalam masyarakat seperti status anak yang tidak jelas. Selain itu juga akan ada pandangan negatif kepada wanita itu sendiri dari masyarakat sekitar, karena telah mempunyai anak tanpa menikah dan belum bersuami.

 Segi Hukum
Dilihat dari segi hukum pendonor sperma melanggar hukum. Contoh kasus pada bulan Juni 2002, pengadilan di Stockholm, Swedia menjatuhkan hukuman kepada laki-laki yang mengaku sebagai pendonor sperma kepada pasangan lesbian yang akhirnya bercerai. Dan diberi sanksi untuk memberi tunjangan terhadap 3 orang anak hasil inseminasi spermanya, sebesar 2,5 juta perbulan. Dalam kasus ini akan timbul sikap etis dan tidak etis. Sikap etis timbul dilihat dari sikap pendonor sperma yang telah memberikan spermanya kepada pasangan lesbian, karena berusaha untuk membantu pasangan tersebut untuk mempunyai anak. Sedangkan sikap tidak etis muncul dari pasangan lesbian yang bercerai, karena telah menuntut pertanggungjawaban kepada pendonor sperma yang mengaku sebagai ayahnya untuk memberikan tunjangan hidup bagi ke-3 anak hasil inseminasi spermanya. Dengan demikian maka inseminasi buatan harus berlandaskan nilai etika tertentu, karena bagaimanapun juga perkembangan dalam dunia bioteknologi tidak lepas dari tanggung jawab manusia sebagai agen moral dan subjek moral. Etika diperlukan untuk menentukan arah perkembangan bioteknologi serta perkembangannya secara teknis, sehingga tujuan yang menyimpang dan merugikan bagi kemanusiaan dapat dihindarkan. Dan yang penting perlu diterapkannya aturan resmi pemerintah dalam pelaksanaan dan penerapan bioteknologi, sehingga ada pengawasan yang intensif terhadap bahaya potensial yang mungkin timbul akibat kemajuan bioteknologi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar