INSEMINASI BUATAN
MENURUT PANDANGAN ETIKA KRISTEN
Setiap
pasangan suami isteri pasti mengharapkan hadirnya seorang atau beberapa orang
anak sebagai buah hati perkawinan mereka. Namun tidak jarang sebuah perkawinan
tak kunjung mendapatkan sesosok anak yang diidam-idamkan selama perkawinan.
Banyak faktor tentunya yang menyebabkan suatu pasangan suami isteri tidak
kunjung mendapatkan turunan, misalnya gagal rahim, mandul, dan lain-lain. Banyak
pula pasangan perkawinan menempuh berbagai cara untuk mendapatkan anak.
Misalnya; adopsi, inseminasi buatan, dan bayi tabung. Inseminasi buatan adalah
konsepsi (pembuahan) terhadap sel telur oleh sperma hasil para donor yang
disimpan di laboratorium. Robert T Francoeur dalam bukunya
berjudul:"Biomedical Ethics" mengungkapkan bahwa setiap tahun 30.000
s/d 40.000 bayi lahir di Amerika hasil inseminasi buatan. Di mana sel sperma
yang ditabung itu tidak lagi jelas siapa pemiliknya (anonim).
Sebelum lebih lanjut mengenai pandangan etika
Kristen terhadap inseminasi buatan ini, alangkah lebih baiknya jika kita
mengerti dahulu apakah itu inseminasi buatan.
Inseminasi buatan merupakan terjemahan dari artificial insemination.
Artificial artinya buatan atau tiruan, sedangkan insemination berasal dari kata
latin. Inseminatus artinya pemasukan atau penyampaian. Artificial insemination
adalah penghamilan atau pembuahan buatan. Secara medisnya Inseminasi buatan
diartikan sebagai peletakan sperma ke follicle ovarian (intrafollicular),
uterus (intrauterine), cervix (intracervical), atau tube fallopian (intratubal)
wanita dengan menggunakan cara buatan dan bukan dengan kopulasi alami. Sederhananya
inseminasi buatan adalah memasukkan mani/ sperma laki-laki ke dalam alat
kelamin wanita dengan jalan buatan. Dengan kata lain tidak melalui
persetubuhan. Normalnya penghamilan wanita dalam kehidupan pernikahan dilakukan
dengan adanya persetubuhan. Teknik modern untuk inseminasi buatan pertama kali
dikembangkan untuk industri ternak untuk membuat banyak sapi dihamili oleh
seekor sapi jantan untuk meningkatkan produksi susu. Sedangkan inseminasi
buatan pada manusia pertama kali dilakukan tahun 1700 di Inggris. Inseminasi
ini dilakukan dengan menggunakan sperma dari suami telah dilakukan secara
intravagina (dalam vagina). Sophia Kleegman dari Amerika Serikat adalah salah
satu perintis yang menggunakan inseminasi buatan dengan sperma suami ataupun
sperma donor untuk kasus infertilitas.
Ada beberapa hal yang menjadi alasan mengapa orang
melakukan inseminasi buatan. Yang pertama adalah karena seorang suami tidak
dapat melakukan persetubuhan yang baik, misalnya ia memiliki impotensi atau
lemah syahwat. Dapat juga terjadi jika seorang suami atau istri memiliki
kelainan pada alat kelaminnya, sehingga sperma yang sehat tidak dapat masuk ke
tempat yang semestinya. Pada wanita kendala ini dapat berupa hipofungsi
ovarium, gangguan pada saluran reproduksi dan rendahnya kadar progesterone.
Sedangkan pada pria berupa abnormalitas spermatozoa kriptorkhid (Sperma
yang lemah dalam pergerakan), azoospermia (Mandul karena mani tidak mengandung sel mani hidup) dan
rendahnya kadar testosterone (Hormon kelamin pria dihasilkan oleh testis).
Selain untuk memperoleh keturunan, inseminasi buatan juga dilakukan karena
faktor kesehatan. Ada juga alasan untuk mengembangbiakan manusia secara cepat,
untuk menciptakan manusia jenius, ideal sesuai dengan keinginan, sebagai alternatif
bagi manusia yang ingin punya anak tetapi tidak mau menikah dan untuk percobaan
ilmiah.
Ada dua jenis inseminasi buatan, yakni inseminasi
buatan homolog dan inseminasi buatan heterolog. Inseminasi buatan homolog
adalah inseminasi buatan dengan megunakan mani suami sendiri. Inseminasi buatan
heterolog adalah inseminasi buatan dengan menggunakan mani donor. Ini dilakukan
jika suami tidak bisa memproduksi sperma atau azoospermia atau pihak suami
mengidap penyakit congenital (Penyakit bawaan sejak lahir) yang dapat diwariskan
kepada keturunannya. Penderma sperma harus melakukan tes kesehatan terlebih dahulu seperti tipe darah, golongan
darah, latar belakang status physikologi, tes IQ, penyakit keturunan, dan bebas
dari infeksi penyakit menular.
Keberhasilan inseminasi buatan tergantung tenaga
ahli di labolatorium, walaupun prosedurnya sudah benar, bayi dari hasil
inseminasi buatan dapat memiliki resiko cacat bawaan lebih besar daripada dibandingkan pada bayi normal. Penyebab dari
munculnya cacat bawaan adalah kesalahan prosedur injeksi sperma ke dalam sel
telur. Hal ini bisa terjadi karena satu sel sperma yang dipilih untuk digunakan
pada inseminasi buatan belum tentu sehat, dengan cara ini resiko mendapatkan
sel sperma yang secara genetik tidak sehat menjadi cukup besar. Cacat bawaan
yang paling sering muncul antara lain bibir sumbing, down sindrom, terbukanya
kanal tulang belakang, kegagalan jantung, ginjal, dan kelenjar pankreas.
Persoalan yang muncul dari hasil-hasil inseminasi
ini antara lain: bagaimana hak anak untuk mengetahui ayahnya yang sesungguhnya,
hak untuk mengetahui latarbelakang ayahnya, dan bagaimana hak sang donor untuk
dirahasiakan identitasnya, termasuk terhadap anak yang dihasilkan dari
pembuahan oleh sel sperma sang donor. Persoalan lebih rumit lagi terjadi ketika
sepasang remaja mengumumkan rencana perkawinan mereka. Namun dokter yang
menginseminasi mereka mengetahui rencana perkawinan mereka, dan akhirnya
mengumumkan bahwa 20 tahun lalu mereka berdua adalah hasil inseminasi dari
donor yang sama. Sungguh kacau dan menyedihkan bukan? (Francoeur, 1977, hal.
207). Menyikapi aktivitas inseminasi dan problema-problema yang muncul
sebagaimana diuraikan di atas, nampak bahwa upaya manusia memang seringkali
melangkahi kodratnya sehingga menimbulkan kekacauan. Anak adalah buah hati
kasih sayang dan cinta antara dua pasangan yang diikat oleh sebuah perkawinan
yang sah menurut hukum Tuhan maupun hukum manusia. Dikaji dari sudut iman
Kristiani, apa bedanya inseminasi buatan dengan punya lelaki simpanan? Apa
bedanya inseminasi buatan dengan zinah? Sebab, sungguh ironis kalau sampai ada
pasangan suami-isteri yang kawin secara sah menurut ajaran Tuhan, tapi anaknya
berasal dari lelaki lain (sel sperma yang ditabung di laboratorium). Dan
sungguh suatu kebohongan besar apabila pasangan suami istri itu
menyembunyikannya hingga si anak besar dan bahkan selamanya tidak diberitahu
bahwa ia adalah hasil inseminasi. Sungguh tak terbayangkan apa yang terjadi
pada diri si anak kalau suatu waktu ia tahu bahwa ayah aslinya adalah orang
lain. Bisa sangat menyedihkan. Dilematis bukan?. Memang kehidupan tanpa
otoritas pasti mengarah pada kekacauan. Oleh karena itu, biarlah kita taat pada
otoritas tertinggi, yaitu Firman Tuhan, khususnya mengenai perkawinan, bukan
sekedar memenuhi keinginan kita sebagai manusia. Karena Allah tentu punya
rencana yang indah atas setiap perkawinan yang berkenan di hadapanNya.
A.
Bagaimana Inseminasi buatan dapat dibenarkan?
Inseminasi buatan dapat dibenarkan atau diijinkan
bila dilakukan dengan alasan kesehatan dan pengobatan atau untuk meningkatkan
nilai genetik, sehingga menghasilkan manusia yang lebih berkualitas. Dan yang
lebih penting dilakukan oleh pasangan yang sah. Hal ini di kemukakan oleh
sebagian pakar agama baik dari Islam, Kristen maupun Yahudi, karena dapat
membantu pasangan suami istri yang tidak bisa memperoleh keturunan, jika kedua
belah pihak setuju untuk melakukan inseminasi. Tetapi ada juga yang
mempersoalkan tentang inseminasi buatan ini, bahwasanya anak yang diperoleh
dengan cara inseminasi sebenarnya bukanlah anak dari dari suami istri itu
sendiri, melainkan dari orang lain yang identitasnya biasanya disembunyikan.
Karena itu juga muncul problem hukum tentang ayah yang benar dari anak tersebut
dan problem physikologis dalam diri anak di kemudian hari bila ingin tahu
tentang ayahnya yang sebenarnya. Selain itu persoalan tentang bagaimana cara
mendapatkan sperma, apakah boleh digunakan masturbasi? Besarnya biaya yang
dikeluarkan untuk inseminasi buatan, ternyata juga menimbulkan masalah karena
terlalu mahal, sekitar 11 juta. Apakah tidak lebih baik bila biaya tersebut
digunakan untuk didermakan kepada panti asuhan sebelum mereka mengangkat
seorang anak dari panti asuhan tersebut?
B.
Benar-Salahkah Inseminasi Buatan?
Segi
Agama
Yang pertama kali menyatakan tentang
inseminasi buatan adalah gereja Katholik Roma. Paus Pius XII pada tahun 1949
mengeluarkan pernyataan bahwa segala penghamilan manusia tidak boleh
menggunakan cara di luar cara yang wajar/ persetubuhan. Inseminasi buatan
homolog maupun heterolog dilarang berdasarkan kesusilaan. Gereja-gereja
Protestan umumnya menolak inseminasi buatan heterolog. Sedang inseminasi buatan
homolog bukan dipandang sebagai perbuatan tidak bersusila. Dasar dari pandangan
ini adalah kata ibrani yang digunakan untuk menyatakan tentang persetubuhan
dalam alkitab adalah berarti “mengenal”. Maksudnya adalah saling mengenal di
dalam kasih dan saling menyerahkan jiwa raganya di dalam kasih. Jadi anak lahir
oleh persekutuan yang amat dalam tersebut. Inseminasi buatan heterolog
dilakukan dengan tidak adanya ikatan persekutuan yang demikian, maka hal ini
dianggap tidak sesuai dengan alkitab. Namun, inseminasi buatan homolog berbeda.
Maka gereja protestan menganggap hal ini boleh dilakukan. Namun ada catatan
penting tentang hal ini. Inseminasi buatan homolog boleh dilakukan jika memang
terpaksa harus dilakukan. Jika memang seorang pria atau seorang wanita tidak
dapat menghasilkan keturunan dengan persetubuhan, maka barulah hal ini
dilakukan.
Segi
Sosial
Posisi anak menjadi kurang jelas dalam tatanan
masyarakat, terutama bila sperma yang digunakan berasal dari bank sperma atau
sel sperma yang digunakan berasal dari pendonor, akibatnya status anak menjadi
tidak jelas. Selain itu juga, di kemudian hari mungkin saja terjadi perkawinan
antar keluarga dekat tanpa di sengaja, misalnya antar anak dengan bapak atau
dengan ibu atau bisa saja antar saudara
sehingga besar kemungkinan akan lahir generasi cacat akibat inbreeding. Lain halnya
dengan kasus seorang janda yang ditinggal mati suaminya, dan dia ingin
mempunyai anak dari sperma beku suaminya. Hal ini dianggap etis karena sperma
yang digunakan berasal dari suaminya
sendiri sehingga tidak menimbulkan masalah sosial, karena status anak yang
dilahirkan merupakan anak kandung
sendiri. Kasus lainnya adalah seorang wanita ingin mempunyai anak dengan
inseminasi tetapi tanpa menikah, dengan alasan ingin mempunyai keturunan dari
seseorang yang diidolakannya seperti artis dan tokoh terkenal. Kasus tersebut
akan menimbulkan sikap tidak etis, karena sperma yang diperoleh sama halnya
dari sperma pendonor, sehingga akan menyebabkan persoalan dalam masyarakat
seperti status anak yang tidak jelas. Selain itu juga akan ada pandangan
negatif kepada wanita itu sendiri dari masyarakat sekitar, karena telah
mempunyai anak tanpa menikah dan belum bersuami.
Segi Hukum
Dilihat dari segi hukum pendonor sperma melanggar
hukum. Contoh kasus pada bulan Juni 2002, pengadilan di Stockholm, Swedia
menjatuhkan hukuman kepada laki-laki yang mengaku sebagai pendonor sperma
kepada pasangan lesbian yang akhirnya bercerai. Dan diberi sanksi untuk memberi
tunjangan terhadap 3 orang anak hasil inseminasi spermanya, sebesar 2,5 juta
perbulan. Dalam kasus ini akan timbul sikap etis dan tidak etis. Sikap etis
timbul dilihat dari sikap pendonor sperma yang telah memberikan spermanya
kepada pasangan lesbian, karena berusaha untuk membantu pasangan tersebut untuk
mempunyai anak. Sedangkan sikap tidak etis muncul dari pasangan lesbian yang
bercerai, karena telah menuntut pertanggungjawaban kepada pendonor sperma yang
mengaku sebagai ayahnya untuk memberikan tunjangan hidup bagi ke-3 anak hasil
inseminasi spermanya. Dengan demikian maka inseminasi buatan harus berlandaskan
nilai etika tertentu, karena bagaimanapun juga perkembangan dalam dunia
bioteknologi tidak lepas dari tanggung jawab manusia sebagai agen moral dan
subjek moral. Etika diperlukan untuk menentukan arah perkembangan bioteknologi
serta perkembangannya secara teknis, sehingga tujuan yang menyimpang dan
merugikan bagi kemanusiaan dapat dihindarkan. Dan yang penting perlu
diterapkannya aturan resmi pemerintah dalam pelaksanaan dan penerapan
bioteknologi, sehingga ada pengawasan yang intensif terhadap bahaya potensial
yang mungkin timbul akibat kemajuan bioteknologi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar